Jumat, 08 Juli 2011

YAA SIIN

Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka mendapat hasanat / kebaikan dan tiap hasanat mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata : Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.(HR. At Tirmidzi).

Lihat Hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali....Pahala apa yang akan diberikan Allah SWT. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas....Untuk lebih gampangnya kita ambil misal saja, bila pahala yang diberikan Allah SWT. untuk satu huruf tersebut misalnya sudah kita ketahui yaitu berupa satu pohon di surga dan Dia akan melipatkan 10x pahalanya berarti kita akan memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya....jadi kita bisa hitung sendiri berapa pohon yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja ??....Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya....Jangan kita sendiri yang membatasinya !!!

Iqrauu yaasin ‘alaa mautaakum....Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)....Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra  juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).

Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah SAW bersabda....Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin). (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul Mashabih).

Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah SAW. bersabda....Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Quran. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan dan telah) wafat diantaramu. (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata : Para ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).

Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda : Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni (Imam Malik bin Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).

Hadits ini menyebutkan pahala tertentu bacaan surat Yaasin, Allah SWT. akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan ini yang selalu diharapkan oleh setiap Muslimin !!!....Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Katsir telah mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).

Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal....Juga mengenai fadhilah/pahala membaca surat Al-Ikhlas, Abu Muhammad As-Samarkandy, Ar-Rafi’i dan Ad-Darquthni, masing-masing  menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulallah saw. bersabda:

Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda....Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur).

Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini, mengamalkannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan tambahan.

Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin....Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat ilahi yang melarang orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an....Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharuskan/mewajibkan orang membaca hanya ayat itu saja !!!

Golongan yang tidak sependapat ada yang mengatakan bahwa Ibnul Qayyim berkata : Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu !  Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi Al-Quran yang lain !!!

Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain seperti berikut ini :

Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi SAW bersabda....Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam ?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka : ‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah ?....Maka sabda Nabi SAW ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas  adalah sepertiga dari Al- Qur’an”.  (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i). Ada riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Ikhlas saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya.

Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: 'Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain ( Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan segala do’a-do’a lainnya'. (HR At Tirmidzi)

Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata manusia....Juga mendapat pahala yang membacanya....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi SAW : Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqarah pada waktu malam telah mencukupinya. (HR.Bukhori dan Muslim).

Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu....Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat 285....sampai akhir ayat al Baqoroh Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah SAW bersabda : Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk). (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan dosanya....Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi SAW bersabda : Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya setan  lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.  (HR.Muslim)

Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqarah bisa mengusir setan dari rumah kita....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah SAW : Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal. (HR.Muslim)....Dalam lain riwayat : Sepuluh ayat dari akhir surat Al- Kahfi’.

Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!

Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak dikemukakan satu persatu disini....Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat dan sebagainya.

Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakan ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak !!!....Dan kitab - kitab salaf yang menukil hadits - hadits dan riwayat - riwayat tersebut diatas telah diajarkan oleh guru - guru kami yang sanadiyah ilmunya jelas dan tersambung hingga mamba'ul ulum Rasulullah SAW.

Apabila ada saudara sesama muslim yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda dan tidak setuju terhadap amalan demikian itu maka tidak seharusnya kemudian melarang bahkan mencaci, melaknat bahkan membid'ahkan munkar kepada pengamalnya....Mujadalah atau dialog terbuka yang disaksikan kaum awam adalah cara yang paling tepat untuk itu....dan hal itu harus dilakukan oleh para Ahlul ilmu, ahlul haali....bukan kaum awam yang sangat terbatas kemampuan ilmunya....Kami berlindung pada Allah SWT.....Wallaahua'lam.

BACAAN QUR'AN UNTUK MAYIT

Wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458....Dari Ibnu Umar ra : Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya.

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang meng- ingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu ( Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25 ).

Dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan....Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya.

Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.

Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda :Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah mem- bawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda....Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat.

Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil  oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah ra  mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan pahala) tidak dari Rasulallah SAW.

Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzib mengatakan....Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk  penghuni kubur....Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :

Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari  ijma’ para ulama dan di lihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenar kan.

Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih diperselisihkan. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat....Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan).

Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an pada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan dimanapun berada (kecuali di WC)....Pokok perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak!  (Jadi bukan masalah pembacaannya)

Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori....1. Disepakati tidak bermanfaat : memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat....2. Disepakati bermanfaat : seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat....3. Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

Sementara sebagian ulama madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat pahala- nya dapat diterima oleh yang telah mati....Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.

Dan berikut ulama-ulama pakar dan kitab mereka yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit diantaranya sebagai berikut:

Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa  “Al-Khallal  dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi  (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Kita tidak boleh langsung mengatakan semua amalan yang menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya....Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut  menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh diamalkan !....Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan munkar amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka....Wallahua'lam

MANFAAT TAQWA DAN CARA MEMELIHARANYA

 oleh : Hariono Fadhil

Taqwa berasal dari waqa atau yaqii atau waqaayah yang artinya kehati-hatian, yang maksudnya adalah hidup dengan kehati-hatian.

Misalkan ada orang yang membagi-bagikan uang, setelah ditanya oleh temannya, itu uang apa? Lantas dijawab, ini adalah uang dari kelebihan anggaran. Tentu kalau orang yang taqwa ia akan menolaknya karena hati-hati, ditakutkan bahwa uang tersebut haram. Tapi kalau kita menikmati uangnya, maka kita bukan termasuk orang taqwa.

Manfaat Taqwa :

1. Lafatahna alaihim barokatimminassamai wal’ardhi,
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Kalau ibu-ibu dan bapak-bapak masih merasakan berkah, maka itu adalah hasil dari taqwa. Karena berkah adalah ziyadul khoir, sesuatu yang memiliki nilai tambah. Ada orang yang gajinya pas-pasan tapi ia bisa memenuhi kebutuhannya yang sama sekali tidak kekurangan. Tapi ada juga orang yang penghasilannya besar, kebutuhannya tidak seberapa, tapi ia merasakan kekurangan terus menerus. Mendapatkan uang muncul musibah, punya duit ditimpa kecelakaan, jangan-jangan kasus seperti ini karena hidupnya tidak berkah.

Jadi berkah adalah bertambahnya kebaikan, bukan saja dalam bilangan nominal tetapi bertambahnya nilai sehingga menjadi sesuatu yang manfaat.

2. Orang taqwa adalah intattaqulloha yaj’allahu furqona.
Orang taqwa diberikan furqon(pembeda) oleh Allah, bahkan ia akan berani tampil beda karena ketaqwaannya. Maka sering kita lihat ada orang-orang itu kelihatan auranya baik karena nilai taqwa dalam dirinya sehingga terpancar ke luar, dan pancaran seperti ini tidak bisa dibuat-buat. Kalau kita ingin hidup beda dengan yang lain dalam segala hal terutama dalam quality, maka kita harus taqwa.

3. Orang taqwa itu adalah wayukaffir anhum sayyiatikum,
Jika kamu bertaqwa, Allah akan menghapus segala macam kesalahannya. Karena taqwa itu hati-hati, maka ketika ia berbuat dosa langsung ingat pada Allah, sambil mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah, allahu akbar, istighfar, dll, lalu menyadari bahwa yang dilakukannya itu salah, dosa. Kemudian ia bertaubat seraya meminta ampun atas dosa yang telah ia perbuat. Akan tetapi kalau ada orang yang berbuat dosa kemudian tidak langsung taubat tapi dia cuek-cuek saja, dia tenang-tenang saja, apalagi ia merasa bangga setelah melakukan dosanya itu, maka ia bukan termasuk orang taqwa tetapi fasiq.

4. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah baginya ada jalan keluar.
Orang taqwa itu tidak pernah tertinggal dari jalan keluar, selalu saja datang solusi. Di kita kalau dalam keadaan terdesak, solusi yang haram pun terkadang dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti menggunakan cara-cara pintas dengan mencari atau melakukan perbuatan yang haram, solusinya mungkin terpenuhi tapi berikutnya ia akan menghadapi masalah. Berbeda dengan orang yang taqwa, pasti ada saja solusi yang baik dan benar.

5. Wayarzuqhu min haitsu la yahtasib,
Mendapatkan rezeki diluar dugaan, gaji besar, THR besar, rezeki yang tidak disangka-sangka, dll. Sebaliknya orang yang tidak taqwa, rezekinya itu seakan-akan ditunda-tunda untuk diturunkan kepadanya.

6. Wamayyatawakkal alalloh fahuwa hasbuh,
Allah akan mencukupkan orang yang taqwa karena ketawakkalannya. Cukup itu tidak identik dengan mewah, atau nominalnya yang besar, bukan seperti itu, tetapi cukup itu ketika kebutuhan kita tercukupi dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.

7. Hatinya tenang.
Keluh kesah, gelisah atau perasaan negatif lainnya tidak akan tumbuh pada diri orang yang taqwa.

Oleh karena itu ada 7 amalan untuk menjaga dan memelihara ketaqwaan kita, antara lain :

1. Qiyamullail, bangun malam untuk melaksanakan sholat tahajud.
2. Membaca Al-qur’an, minimal sehari 10 ayat atau sehari se-ayat tapi beserta terjemahannya kemudian difahami.
3. Membiasakan shaum (puasa) sunnah.
4. ‘Itikaf, kapan saja dilakukan, ketika kita mempunyai banyak waktu maka masuklah ke dalam masjid, cukup setengah jam saja, dengan bersimpuh kepada Allah : “Ya Tuhan nama saya fulan bin fulan, banyak dosa yang telah saya lakukan oleh karena itu ampuni saya”. Ia senantiasa mengakui dosa dan kesalahannya lalu meminta ampun kepada Allah SWT.
5. Shodaqoh , berusaha untuk gemar bershodaqoh, berinfaq dan sejenisnya.
6. Selalu ber-do'a, berdo'a dalam segala keadaan,  jangan berdo'a hanya dalam menghadapi persoalan berat saja, tapi hal-hal yang kecil-pun jangan terlewati, seperti mau makan, dsb.
7. Silaturahim. Suka menyambung tali silaturrahim, insyaallah taqwa kita pun dijamin surga karena silaturahim yang kita lakukan.

“Ya Allah, bimbing kami agar menjadi orang yang bertaqwa agar kami senantiasa berhati-hati dalam setiap tindakan, dalam berbicara, dalam menatap, dalam bergaul, berdagang maupun bekerja, dengan cara mu Wahai Muahammad,

"Mudah-mudahan Engkau tulis kami sebagai hamba yang muttaqin. Sebagai hamba yang banyak dosa, maafkan dosa kami".

"Ya Allah berilah surga yang telah Engkau janjikan dan jauhkan kami dari nerakamu, semata-mata bukan karena amal-amal kami tapi karena rahman-rahim-Mu".

"Berikan semua rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, jauhkan kami dari penyakit dan derita, bukakan pintu hati ibu dan bapak kami sehingga mereka ridho terhadap kami.”

Aamiin...

ATSAARUL ANBIYAA' WASH SHAALIHIIN

Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan....Pernyataan ini bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.

Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah....Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah....Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.

Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini....Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya....Bahwasanya pada suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah)....Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau)....Marwan menghardik orang itu : Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?....lalu orang itu menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi) kemudian berkata : Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya....Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.

Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda....Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya. (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).

Dalam hadits lain, beliau bersabda....Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti akan memperoleh syafa'atku. (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi berkomentar : Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang berbeda-beda, lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya  as-Suyuthi, hlm. 308).


Dalam kitab Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa  Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya....Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...! (Ma hadzihi al jafwah)....Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah....Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah.

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda....Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya. (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).

Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al Minqari berkata : Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah....Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan....Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu : Wahai Rasulullah ! lapar...lapar....lalu aku kembali....Abu as-Syaikh berkata kepadaku : Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati.... Abu Bakr melanjutkan kisahnya : Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu....Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya  ada banyak makanan....Maka kami duduk lalu makan....Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu tetapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami....Setelah kami selesai makan, 'Alawi  itu berkata : Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah ?...sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian.

Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik....Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam....Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .

Dalam kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis : Ketika khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi'i) : Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah ?....Imam Malik menjawab : Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alaihissalam ?....menghadaplah kepada beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau, niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda....Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).

Dalam kitab Tuhfah Ibn 'Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis.

Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla....Imam Ahmad menjawab : Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik).

Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain)....Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'....Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah....Ia tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik).


Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya....Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup.

Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.

Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al 'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).

Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka....Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a....Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan....Termasuk tempat yang sering menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh. (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).

Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.

Di Antara Argumen Buruk Kaum Wahhabi Tentang Tabarruk Dan Tawassul; KITA BONGKAR DI SINI.. !!!

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan: A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!. B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!. Jawab: A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja. Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut: بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ. “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” . Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan: وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ “Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” . Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali. As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata: اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ. “-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” . Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas. Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut: وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى. “Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” . Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja. Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?! B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi] Bag. 2

Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan disandarkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah. Di antaranya dalam firman Allah: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18) Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya. Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjelaskan bahwa pemaknaaan seperti itu; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-‘Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah: سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (الأعلى: 1) juga yang dimaksud dengan firman-Nya: وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (اابقرة: 255) Karena makna al-‘Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dengan jelas tentang hal ini Ibn Hajar menuliskan: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-‘Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-‘Âli, al-‘Alyy, dan al-Muta’âli”. Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18) menuliskan sebagai berikut: “Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan:“Fulân Fawqa Fulân”, maka artinya si fulan yang pertama (A) lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua (B), bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa ‘Ibâdih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibâdih” (dengan mempergunakan kata jamak)“ (Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 23). Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl menuliskan sebagai berikut: “Allah berfirman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan berfirman tentang para Malaikat: يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ (النحل: 50) Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah: يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10) dan firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18). Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat adalah firman Allah: وَفَوْقَ كُلّ ذِي عِلمٍ عَلِيْمٌ (يوسف: 76) Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan. Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am: 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhâr; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Ghulâm Fawq as-Sulthân” atau “al-Ghulâm Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat, dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhâfuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Karena sesungguhnya seseorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” (Idlâh ad-Dalîl, h. 108-109). Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya. Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut: “Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian. Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm. Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalîfah Fawq as-Sulthân, Wa as-Sulthân Fawq al-Amîr”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulân Fawq Fulân”, maka artinya: “Si fulan (A) kedudukannya di atas si fulan (B)”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilm Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah: وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ (الزخرف: 32) artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: وَإنّا فَوقَهُمْ قَاهِرُوْنَ (الأعراف: 127) yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun merasa menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” (Lihat dalam Risâlah Fî Nafy al-Jihah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 9, h. 47). Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân menuliskan tentang pemahaman kata fawq pada hak Allah, sebagai berikut: “...antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhir Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhâfûna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Innâ Fawqahum Qâhirûn” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai mereka”. Salah seorang ulama bahasa yang sangat terkenal; az-Zujaji, dalam kitab Isytiqâq Ismâ’ Allâh al-Husnâ menuliskan bahwa makna al-‘Alyy dan al-‘Âli pada hak Allah adalah dalam pengertian menguasai dan menundukan segala sesuatu. Al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut: “Makna ke tiga; bahwa pengertian al-‘Uluww adalah al-Ghalabah (menguasai dan menundukan) seperti dalam firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), artinya: “Kalian dapat menguasai dan menundukan musuh-musuh kalian”. Contoh lainnya seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab: “’Alawtu Qarnî...”, artinya: “Saya telah menguasai teman-teman sebaya saya”. Contoh lainnya firman Allah: “Inna Fir’awna ‘Alâ Fî al-Ardl” (QS. Al-Qashash: 4), artinya: “Fir’aun seorang yang berkuasa, sombong, dan durhaka”. Contoh lainnya firman Allah: “Wa an Lâ Ta’lû ‘Alâ Allâh” (QS. Ad-Dukhan: 19), artinya: “Janganlah kalian sombong atas Allah”. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan Nabi Sulaiman: “An Lâ Ta’lû ‘Alayya Wa’tûnî Muslimîn” (QS. An-Naml: 31), artinya: “Janganlah kalian sombong atasku dan datanglah kalian kepadaku dalam keadaan Islam”. Demikian pula nama Allah al-‘Alyy diambil dari kata al-‘Uluww dalam pengertian bahwa Allah maha tinggi atau maha agung pada derajat-Nya di atas segala apapun, artinya tidak ada apapun yang lebih agung dari pada Allah. Pengertian al-‘Alyy di sini bukan berarti Allah berada di arah atas, karena Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”. Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut: “Allah berfirman: “al-Kabîr al-Muta’âl” (QS. Ar-Ra’ad: 9). Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits tentang nama-nama Allah; telah berkata al-Halimi: Pengertian ayat di atas ialah bahwa Allah Maha Suci dari segala apa yang ada pada makhluk-makhluk-Nya, seperti memiliki istri, anak, anggota badan (baik yang besar maupun anggota yang kecil), mengambil ranjang (tempat) untuk duduk di atasnya, bersembunyi di balik tirai supaya tidak terlihat, pindah dari satu tempat ke tampat lain, dan lain sebagainya. Karena sifat-sifat semacam ini sebagiannya menetapkan adanya bentuk dan penghabisan, sebagian lainnya menetapkan adanya kebutuhan kepada yang lain, dan sebagian lainnya menetapkan adanya perubahan. Sedikitpun sifat-sifat semacam demikian itu sangat tidak layak bagi Allah dan mustahil atas-Nya”. Al-Imâm al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl dalam menjelaskan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhîm” (QS. Al-Baqarah: 255), firman Allah: “Sabbihisma Rabbik al-A’lâ” (QS. Al-A’la: 1), dan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Saba’: 23), menuliskan bahwa makna-makna itu semua penjelasannya adalah dalam pemahaman ketinggian derajat, keagungan, dan kekuasaan bagi-Nya, bukan dalam pengertian arah atau tempat yang tinggi. Kita semua sepakat dalam memahami makna-makna dari beberapa ayat tentang “Ma’iyyah Allâh”, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntun” (QS. Al-Hadid: 4), dan firman-Nya: “Innallâh Ma’a al-Ladzînattaqau...” (QS. An-Nahl: 128), bahwa makna “Ma’a” dalam ayat-ayat semacam ini bukan dalam pengertian Dzat Allah menyertai setiap makhluk-Nya. Artinya bahwa ayat-ayat ini tidak boleh dipahami secara zahir (literal). Maka demikian pula dalam memahami makna al-‘Alyy, al-‘Âli, atau al-Muta’âli pada hak Allah, itu semua tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Banyak dalil yang menunjukan kepada keharusan memahami makna seperti yang kita ungkapkan di atas, di antaranya firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), juga firman Allah tentang Nabi Musa “Lâ Takhaf Innaka Anta al-A’lâ” (QS. Thaha: 68), serta firman Allah: “Wa Kalimatullâh Hiya al-‘Ulyâ” (QS. At-Taubah: 40). Ayat-ayat ini semua sama sekali bukan untuk menunjukan tempat dan arah atas, tetapi yang dimaksud adalah ketinggian kedudukan dan martabat (Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, h. 110-111). Ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi dalam tafsirnya dalam penjelasan makna firman Allah: “Wa Annallâh Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Al-Hajj: 62) menuliskan sebagai berikut: “al-‘Alyy artinya bahwa Allah maha menguasai atas segala sesuatu, Dia Maha Suci dari segala keserupaan dan penentang, dan Maha Suci dari segala pernyataan orang-orang kafir yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak sesuai bagi keagungan-Nya. Al-Kabîr artinya bahwa Dia Allah yang maha agung dan maha besar dalam derajatnya, (bukan dalam makna bentuk). Menurut pendapat lain, makna al-Kabîr adalah bahwa Dia Allah yang memiliki segala kesempurnaan. Artinya bahwa wujud Allah itu mutlak; Dia ada tanpa permulaan (al-Qadîm al-Azaliy) dan tanpa penghabisan (al-Bâqî al-Abadiy)” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 12, h. 91). Al-Imâm Abu al-Qasim al-Anshari an-Naisaburi dalam kitab Syarh al-Irsyâd; sebuah kitab teologi Ahlussunnah karya Imam al-Haramain, menuliskan pasal khusus dalam penjelasan makna-makna tentang sifat-sifat Allah yang kita sebutkan. Simak tulisan beliau berikut ini: “Pasal; Tentang makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Kibriyâ’ dan al-Fawqiyyah. Seluruh orang Islam telah sepakat bahwa Allah maha agung. Dia lebih agung dari segala sesuatu yang agung. Dan makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Izzah, ar-Rif’ah, dan al-Fawqiyyah (pada hak Allah) semuanya memiliki satu pengertian, yaitu bahwa Dia Allah maha memiliki segala sifat kesempurnaan dan segala sifat kesucian. Artinya bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya, maha suci dari memiliki sifat-sifat benda, suci dari kebutuhan, suci dari kekurangan. Dan hanya Dia Allah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat Qudrah (Kuasa) yang mencakup atas segala sesuatu (dari Jâ’iz ‘Aqliy), sifat Irâdah (Kehendak) yang akan terlaksana bagi segala sesuatu yang ia kehendaki-Nya, sifat ‘Ilm (Mengetahui) yang mencakup atas segala sesuatu dari makhluk-Nya, maha memiliki sifat al-Jûd dan sifat ar-Rahmah, maha pemberi segala nikmat, maha memiliki sifat as-Sama’, al-Bashar, al-Qawl al-Qadîm (sifat kalam yang bukan berupa huruf, suara dan bahasa), dan maha kekal”. Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh para Masyâyikh al-Azhar Cairo Mesir, antar generasi mereka ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Hanya beberapa gelintir oknum saja yang terkena faham tasybîh, dan itupun terjadi belakangan ini ketika faham-faham Wahhabiyyah merebak. Kita dapat pastikan bahwa pemegang tumpuk keilmuan di al-Azhar, atau yang dikenal dengan gelar Syaikh al-Azhar, dari generasi ke generasi di dalam akidah mereka semua memiliki faham Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas rintisan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Para Masyâyikh al-Azhar sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Di antara bukti atas itu adalah majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar sendiri, pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la menuliskan sebagai berikut: “al-A’lâ adalah salah satu sifat Allah, yang dimaksud dengan al-‘Uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”. Kemudian pada halaman berikutnya dalam majalah al-Azhar pada edisi yang sama dituliskan sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para ulama Salaf telah sepakat bahwa al-‘Uluww pada hak Allah mustahil maknanya dalam pengertian tempat yang berada di arah atas. Hal ini berbeda dengan faham sebagian orang bodoh yang sesat yang sama sekali tidak memiliki pegangan dalam permasalahan ini. Padahal sesungguhnya seluruh ulama, maupun ulama Salaf maupun ulama Khalaf, sepakat bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya”. Waspadai ajaran wahhabi yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. Yang mengherankan pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Di dua tempat heh? A'udzu Billah....!!!! Ha-ula al-Musyabbihah yadlhak alaihim as-sufaha' qablal 'Uqala...!!!! Ajarkan kepada anak-akan kita: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Inilah aqidah Rasulullah dan para sahabatnya; keyakinan mayoritas Ummat Islam; Ahlussunnah Wal Jama'ah.

AQIDAH ULAMA INDONESIA; ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Ulama Ahlussunnah Anti Wahabi)

Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah: Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897). Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7): ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Sebagai berikut: "وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ...". “Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….” Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)…”. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut: “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna” Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut: "وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...". Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut: وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai berikut: “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa). K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3). K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat) baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.

Sekilas Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Di Indonesia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)

Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm. Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran. Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji. Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari. Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?! Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai --terutama akidah-- ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya. • • • Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini. Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i. Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman. Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara. • • • Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah. Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah. Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut. • • • Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah. Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara. • • • Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya. Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini. • • • Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”. Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah. Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya. Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya. Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali. • • • Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama. Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i. Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya. Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.

Supaya Tidak Sembarang Berbicara Masalah Hukum Agama; Anda Tidak Akan Mencapai Derajat Mujtahid Maka Anda Harus Menjadi Muqallid

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas. Maka seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian untuk itu, ia seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya. Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya. Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas. Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi: " نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان) Maknanya: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban) Bukti terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ لا فقه عنده "" “Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. Dalam riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع" “Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”. Bagian dari redaksi hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada di antara yang mendengar hadits dari Rasulullah memiliki kapasitas hanya meriwayatkan saja, sementara pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut mungkin kurang, bisa jadi pemahaman orang yang mendengar/mengambil hadits tersebut darinya lebih luas dan lebih komprehensif. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa bisa saja ada sebagian sahabat Nabi di mana sebagian murid mereka mungkin lebih paham terhadap kandungan hadits-hadits Nabi lebih dari pada mereka sendiri. Pada redaksi hadits lain tentang ini: " فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه " “Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. (Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Orang yang memiliki kapasitas inilah yang disebut mujtahid yang dimaksud oleh hadits Nabi: " إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر " (رواه البخاري) “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari) Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya. Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al-walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”. Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal). Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa. Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Di samping itu mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.

Pelajaran Penting: Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih; Dari Tulisan Imam Ibn al-Jauzi

al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut; Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat. Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?! Ke tiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut. Ke empat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh. Ke lima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh. Ke enam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”. Ke tujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12). Catatan: Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Beliau bermadzhab Hanbali, dan apa yang beliau tuliskan dalam karya beliau di atas adalah keyakinan para ulama madzhab Hanbli terkemuka. Adapaun orang-orang Wahabi bahwa mereka mengaku bermadzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR....baik di dalam aqidah maupun fiqih kaum Wahabi ini bukan di atas madzhab Hanbali; madzhab mereka adalah madzhab WAHABI..!!! Awas salah; beda antara Ibn al-Jauzi dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah ini adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri; dua-duanya orang sesat dan menyesatkan. Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama (Ibn al-Jauzi) Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua (Ibn Qayyim al-Jauziyyah) adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah. sekali lagi... Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri... Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
Itulah kebiasaan orang-orang wahhabi; membuat kekacauan. Mereka berkedok dengan kata2 manis, mengatakan "kami hanya berpegang teguh kepada al-Qur'an dan Sunnah", "kita perangi TBC (tahayul, bid'ah dan khurafat)", "kami bermadzhab salaf", dan lain sebagainya. Mereka mengaku memerangi bid'ah, tapi sebenarnya mreka sendiri ahli bid'ah. Mereka mengaku hanya berpegang teguh kepada al-Qur'an dan Sunnah, tapi sebenarnya mereka menghancurkan pemahaman al-Qur'an dan Sunnah. Anda lihat, bagaimana mereka membuat judul "derajat orang-orang tahlil labih rendah dari seorang pelacur", A'udzu Billah. Itulah tradisi yang mereka warisi dari pimpinan mereka; Muhammad ibn Abd al-Wahhab, mangklaim sesat dan bahkan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Hasbunallah.   Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat kepadanya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:   وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ (الحشر: 10)   “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami” (QS. Al-Hasyr: 10)   Al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam al-Adzkar menuliskan:   “Semua ulama sepakat bahwa doa bagi orang-orang yang telah meninggal memberikan manfaat terhadap mereka dan pahala doa tersebut sampai kepada mereka. Mereka mengambil dalil firman Allah QS. Al-Hasyr: 10 (tersebut di atas) dan berbagai ayat lainnya, juga dengan dalil beberapa hadits masyhur di antaranya sabda Nabi:   اللّهُمّ اغْفِرْ لِأهْلِ بَقِيْعِ الغَرْقَد (رواه مسلم)   “Ya Allah ampunilah bagi orang-orang yang dimakamkan di Baqi’ al-Gharqad” (HR. Muslim) Dan hadits Nabi: اللّهُمّ اغْفِرْ لِحَيّنَا وَمَيّتِنَا (رواه الترمذي)   “Ya Allah ampuni bagi orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal di antara kami” (HR. At-Tirmidzi)”. (Lihat al-Adzkar: 176)   Demikian juga membaca al-Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al-Qur'an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:   لَعَلّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا (رواه الشيخان)   "Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering".   Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al-Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al-Qur'an orang mukmin. Al-Imam an-Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al-Qur'an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al-Qur'an" (Lihat dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, j. 3, h. 202). Jelas bacaan al-Qur’an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al-Qur’an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga. Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al-Qur’an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn Yasar:   اقْرَءُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أبُو داوُد والنّسَائِي وابْنُ مَاجَه وابْنُ حِبّان وصَحّحَه).   “Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).   Hadits ini walaupun dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan. Dalil yang lain adalah hadits Nabi:   يس قَلْبُ القُرءَان لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ و الدّارَ الآخِرَةَ إلاّ غفرَ لَهُ، وَاقْرَءُوهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ (روَاه أحْمد)   “Yasin adalah hatinya al-Qur’an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian " (HR. Ahmad)   Ahmad bin Muhammad al Marrudzi (salah seorang murid al-Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka" (Lihat al-Maqshad al-Arsyad, j. 2, h. 338-339). Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa ia berkata:   كَانَتِ الأنْصَارُ إذَا مَاتَ لَهُمْ مَيّتٌ اخْتَلَفُوا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ الْقُرْءَانَ   "Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)".   Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata: “Alangkah sakitnya kepalaku”, lalu Rasulullah berkata:   " ذاكِ لوْ كَانَ وَأنَا حَيّ فأ سْتَغْفِر لكِ وأدْعُو لَكِ "   "Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu".   Perkataan Rasulullah " وأدعو لك " (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al-Qur’an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :   اللّهُمَّ أوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ إلَى فُلاَن   "Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".   Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal - إيصال - dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al-Qur’an, dan jika dibacakan al-Qur’an hingga khatam itu sangat baik". Sebagian ahli bid'ah, seperti kaum Wahhabiyah di masa sekarang, mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain. Perkataan mereka ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bahwa mereka berdalil dengan firman Allah:   وأنْ لَيْسَ للإنْسَانِ إلاّ مَا سَعَى (سورة النجم : 39 )   Maka ini adalah pendapat yang tidak tepat dan harus ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri. Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al-Qur'an di atas kuburan, namun kemudian sahabatnya (salah seorang murid dekat) menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia melepaskan pendapatnya tersebut. Al-Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al-Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al-Muntaha, hlm. 260 mengatakan:   "Dalam kitab al-Furu' dan kitab Tashhih al-Furu' dinyatakan: Tidak makruh membaca al-Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam kitab al-Iqna'".   Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an   Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al-Qur’an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :   كُنَّا نَعُدّ الاجْتِمَاعَ إلَى أهْلِ الْمَيت وَصَنِيْعَة الطّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النّيَاحَةِ (رواه أحمد بسند صحيح)   "Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)" (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)   Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Rasulullah. Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al-Qur’an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu yang pahalanya untuknya?, Rasulullah menjawab: "Iya". Lalu Sa'd berkata: “(Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan yang pahalanya untuknya”. (Lihat Shahih al-Bukhari, kitab al-Washaya)   Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya   Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al-Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al-Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din.   Adapun yang sering dikatakan orang sebagian ahli bid’ah, seperti kaum Wahhabiyyah, bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bahwa bacaan al-Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit maka maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa Ii-shal dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayyit)". (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang lain).   Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al-Qur’an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut : 1. Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah. 2. Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al-Qur’an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah berfirman :   وافْعَلُوا الْخَيْـرَ لَعَلّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (سورة الحج : 77)   "Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung" (Q.S. al Hajj : 77).   Peringatan:   Anda periksa keluarga anda, terlebih anak-anak anda, jangan sampai memiliki keyakinan seperti pemahaman Wahhabi. Bila anda memiliki anak keturunan yang berkeyakinan seperti faham wahabi bahwa pahala bacaan al-Qur'an tidak bermanfaat bagi mayit, maka anda akan merugi dunia akhirat. Di dunia anda lelah mendidik mereka, tapi begitu anda meninggal mereka sedikitpun tidak mendoakan anda, tidak memberikan manfaat bagi anda, tidak membacakan walau hanya satu kali bacaan surat al-Fatihah. Anda hanya akan dijadikan layaknya "bangkai", dikuburkan, diinjak-injak, dan lalu ditinggalkan begitu saja. A'udzu Billah.