Senin, 01 Agustus 2011

hadist Mata Pencaharian yang Paling Baik

Pastinya di sektor riil... itulah usaha.

Berikut ini ulasan dari alsofwah.or.id dikutip dari salah satu kitab syarah bulughul maraam.

Selamat berusaha ! :D

----------


Dari Rifa’ah bin Rafi’ radiyallallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang mabrur.”(HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim rahimahullah)


Takhrij Hadits:

Hadits ini shahih dengan banyaknya jalur periwayatannya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim”, beliau berkata di dalam kitab beliau at-Talkhish:”Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ath-Thabrani, dan di dalam bab ini ada hadits juga dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar g. Hal itu disebutkan oleh Abi Hatim rahimahullah. Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam kitab al-Ausath hadits dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu, dan para perawinya La Ba’sa (tidak ada masalah)

Disebutkan di dalam kitab Bulughul Amani, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dikeluarkan oleh as-Suyuthi di dalam Jami’us Shaghir, dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi secara Mursal, dan dia berkata, “Inilah yang mahfuzh Wallahu A’lam”.

Al-Haitsami rahimahullah berkata di dalam kitab Majmau’z Zawaid setelah beliau menyebutkan bahwa hadits itu memiliki banyak jalur periwayatannya, maka beliau berkata tentang riwayat Imam ath-Thabrani, “Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”. Dan berkata tentang jalurnya Imam Ahmad, “Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”.


Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas.

1.Hadits di atas menjelaskan salah satu ajaran di dalam Islam yaitu motivasi dan anjuran untuk berusaha, bekerja dan mencari rizki yang baik. Dan juga bahwasanya Islam itu adalah aturan agama dan Negara, sebagaimana Islam memerintahkan ummatnya untuk menunaikan hak Allah Subhanahu waTa’ala (ibadah), maka Islam juga memerintahkan untuk mencari rizki dan untuk berusaha memakmurkan dan mengembangkan bumi. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. al-Mulk: 15)

2. Dalil bahwasanya mata pencaharian terbaik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri (usaha sendiri). Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari memakan makanan yang diperoleh dari jeripayahnya sendiri.”

3. Dalil bahwasanya perdagangan adalah salah satu mata pencaharian yang paling baik, dengan catatan apabila selamat (terbebas) dari akad-akad yang diharamkan seperti riba, ketidak jelasan, penipuan, penyamaran (menutup-nutupi cacat pada barang dagangan) dan lain-lain yang termasuk dalam kategori memakan/mendapatkan harta orang lain dengan batil.

4. Dalil bahwasanya al-Birru (kebaikan) sebagaimana terdapat dalam Ibadah, maka dia juga terdapat dalam Muamalat (interaksi sesama manusia).Apabila seorang muslim tulus dalam jual belinya, produksinya, pekerjaannya dan profesinya, maka perbuatannya ini termasuk al-Birru dan al-Ihsan yang diberikan balasan di dunia dan akhirat.

5.Bahwasanya amalan apapun yang dilakukan oleh setiap muslim yang diniatkan untuk menjaga kehormatan dirinya (tidak meminta-minta), dan untuk mencukupkan dirinya dari (bergantung kepada) apa-apa yang ada di tangan manusia, maka itu termasuk pekerjaan yang baik. Dan setiap manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu waTa’ala sesuai dengan apa yang menjadi pekerjaan dan profesinya.

6. Tidak adanya pengkhususan dari Syari’ (Allah) dan penentuan jenis pekerjaan tertentu, adalah dalil bahwa maksud hal itu adalah terwujudnya Iradah Kauniyah/ kehendak kauniyah yaitu memakmurkan alam dunia ini, dengan bekerjanya masing-masing orang atau kelompok dengan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha: 50)

7. Seorang laki-laki dalam hadits di atas bukanlah maksud (bukan pengkhususan), akan tetapi disebutkan dalam hadits karena kebanyakan seorang laki-laki lah memiliki pekerjaan dan bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga.

8. Jual beli mabrur adalah jual beli yang terjadi sesuai dengan konsekuensi syari’at yaitu terpenuhinya syarat, rukun, penyempurna dan tidak adanya penghalang (yang menghalangi sahnya transaksi) dan perusak transaksi. Maka harus terkumpul di dalamnya persyaratan yang telah lalu dan tidak adanya penghalang berupa gharar (ketidak jelasan), unsur judi, riba, penipuan dan penyembunyian cacat barang.


Beda pendapat Ulama

Para ulama telah berbeda pendapat tentang penentuan pekerjaan (mata pencaharian) yang paling utama dan paling baik.

Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Yang paling baik adalah bercocok tanam (bertani) karena hal itu lebih dekat dengan sikap tawakkal.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebaik-baik mata pencaharian adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri. Seandainya bertani (bercocok tanam) adalah sebaik-baik pekerjaan maka hal itu dikarenakan apa yang terkandung di dalamnya berupa statusnya sebagai pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, ada tawakkal, dan di dalamnya ada manfaat yang luas bagi manusia lain, binatang melata dan burung-burung.”

Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebaik-baik penghasilan (mata pencaharian) adalah apa yang didapatkan dari harta orang kafir, dengan jalan jihad, karena hal itu adalah pekerjaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena di dalamnya terdapat tujuan meninggikan (menegakkan) kalimat Allah Subhanahu waTa’ala.”

Dan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan duniawi yang paling utama. Sebagian mereka mengatakan yang utama adalah bercocok tanam (bertani), sebagian yang lain mengatakan perdagangan, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangan sendiri berupa produksi maupun keahlian yang lain.”

Dan yang paling baik untuk dikatakan dalam pembahasan ini, “Bahwa sesunguhnya pekerjaan yang paling utama adalah sesuatu yang paling cocok dengan kondisinya masing-masing. Dan wajib pada semua bidang pekerjaan adanya ketulusan dan tidak adanya penipuan serta menunaikan kewajiban dari segala segi.”

Ibnu al-Muflih rahimahullah berkata dalam kitabnya “Adabusy Syar’iah” yang ringkasannya, “Dianjurkan (disunahkan) untuk bekerja walaupun telah berkecukupan, sebagaimana dibolehkan mencari pekerjaan yang halal untuk menambah kekayaan, kedudukan, kemewahan, kesenangan dan kelapangan terhadap anggota keluarganya yang disertai dengan selamatnya agama, kehormatan, harga diri dan lepasnya tanggung jawab.”

Dan hal itu (bekerja) adalah wajib bagi orang yang tidak memiliki bahan makanan untuk dirinya dan untuk orang-orang yang nafkahnya berada dalam tanggungannya. Dan didahulukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa, ketika menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya (tidak memberinya nafkah).” (HR. Muslim)

Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Bekerja yang tidak dimaksudkan untuk bermewah-mewahan, akan tetapi tujuannya hanya sebagai sarana ketaatan (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu waTa’ala, seperti menyambung kekerabatan (silaturahim), dan menjaga kehormatan diri untuk tidak meminta-minta, maka yang seperti ini lebih utama. Hal itu karena apa yang terkandung di dalamnya berupa manfaat untuk orang lain dan dirinya sendiri. Dan ia juga lebih utama daripada ibadah nafilah (sunnah), karena di dalamnya ada manfaat untuk manusia yang lain sedangkan ibadah nafilah manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.”

Sumber: Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Kitab al-Buyu’ hadits no. 660, diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono

------------

Hadis Shahih: Yasin untuk Orang yang (akan) Meninggal

Hadis Shahih: Yasin untuk Orang yang (akan) Meninggal  untuk semuanya

Hadis yang dimaksud adalah;

dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس

“Bacalah surat Yasin kepada orang yang (menjelang) wafat di antara kalian.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dll)

Hadis ini didhaifkan oleh asy-Syaikh al-Albani (lihat Irwa’ul Ghalil dan lainnya). Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab shahihnya, maka menurutnya ini shahih, sebagaimana ditegaskan pula oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah). Selain itu, di antara yang menguatkan hadis ini, dengan berbagai dalilnya, adalah al-Imam ash-Shan’ani, al-Imam asy-Syaukani dan lainnya.

Perbedaan dalam keshahihan hadis tersebut juga berakibat pada adanya perbedaan di kalangan ulama tentang pengamalannya. Namun kali ini, saya akan kutipkan di antara ulama yang membolehkan mengamalkannya.


Al-Imam An Nawawi Rahimahullah, mengatakan dalam kitabnya, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:

يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ المُحْتَضَرِ سُورَةَ (يس) هَكَذَا قَالهُ أَصْحَابُنَا وَاسْتَحَبَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ سُورَةَ الرَّعْدِ أَيْضًا.


“Disunahkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian. Demikian ini juga dikatakan oleh para sahabat kami (syafi’iyah), dan disukai pula oleh sebagian tabi’in membaca surat Ar Ra’du.”
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/76. Dar ‘Alim Al Kitab)


Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, mengatakan dalam tafsirnya:

وكأن قراءتها عند الميت لتنزل الرحمة والبركة، وليسهل عليه خروج الروح، والله أعلم.

“Dan, seakan membacanya di sisi mayit akan menurunkan rahmat dan berkah, dan memudahkan keluarnya ruh. Wallahu A’lam”
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/562. Dar An Nasyr wat Tauzi’)


Asy-Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:

وقال الجمهور: يندب قراءة {يس} لحديث «اقرؤوا على موتاكم يس» واستحسن بعض متأخري الحنفية والشافعية قراءة {الرعد} أيضا ً، لقولجابر: «إنها تهون عليه خروج روحه»

والحكمة من قراءة {يس} أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عنده، تجدد له ذكر تلك الأحوال.

Jumhur ulama mengatakan: disunahkan membaca Yasin, lantaran hadits: Bacalah oleh kalian kepada orang yang menghadapi sakaratul maut, surat Yasin. Sebagian ulama muta’akhirin (belakangan) dari kalangan Hanafiah dan Syafi’iyah juga memandang baik membaca surat Ar Ra’du, dengan alasan perkataan Jabir: “Hal itu bisa meringankan ketika keluarnya ruh.”

Hikmah dibacakannya surat Yasin adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan di dalam srat tersebut. Maka, jika dibacakan di sisinya hal itu bisa memperbarui ingatannya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.
(Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Lebih jauh lagi, yang menarik adalah, mereka yang lebih setuju pada kedhaifan hadis tersebut, tetap berlapang dada terhadap yang mengamalkannya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, fatwa beliau:

قراءة سورة (يس) عند الاحتضار جاءت في حديث معقل بن يسار أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « اقرءوا على موتاكم يس » صححه جماعة وظنوا أن إسناده جيد، وأنه من رواية أبي عثمان النهدي عن معقل بن يسار , وضعفه آخرون , وقالوا: إن الراوي له ليس هو أبا عثمان النهدي، ولكنه شخص آخر مجهول، فالحديث المعروف فيه أنه ضعيف لجهالة أبي عثمان , فلا يستحب قراءتها على الموتى، والذي استحبها ظن أن الحديث صحيح فاستحبها , لكن قراءة القرآن عند المريض أمر طيب ولعل الله ينفعه بذلك , أما تخصيص سورة (يس) فالأصل أن الحديث ضعيف فتخصيصها ليس له وجه.



Membaca surat Yasin bagi orang yang sakaratul maut, telah ada hadits dari Ma’qil bin Yasar bahwa Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah Yasin atas orang yang sedang menghadapi kematian di antara kalian.” Hadits ini dishahihkan oleh jamaah ahli hadits, mereka menganggap sanadnya jayyid. Ini diriwayatkan oleh Abu Utsman AL Hindi dari Ma’qil bin Yasar, yang telah didhaifkan oleh yang lainnya. Mereka mengatakan: sesunggunya perawi ini bukanlah Abu Utsman Al Hindi tetapi orang lain yang majhul (tidak dikenal). Maka hadits ini telah dikenal adanya kelemahan lantaran kemajhulan Abu Utsman maka tidak disunahkan membacakannya atas orang yang mengalami sakaratul maut, dan bagi yang menshahihkan hadits ini maka membacanya adalah disunahkan. Tetapi membacanya bagi orang sakit adalah perkara baik yang semoga Allah memberikan manfaat dengannya. Ada pun mengkhususkan surat Yasin, maka pada dasarnya bahwa hadits ini dhaif, maka tidak ada jalan untuk mengkhususkannya.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/94. Muhammad bin Sa’ad As Suwai’ir. Mawqi’ Ar Riasah Al ‘Ammah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah ditanya tentang apa hukumnya membaca surat Yasin untuk orang yang sedang menghadapi sakaratul maut beliau menjawab:

الفقهاء رحمهم الله استحبوا قراءة هذه السورة عند المحتضر وذكر بعض أهل العلم أنها مما يسهل خروج الروح واستحباب قراءتها عند المحتضر مبني على قول النبي، صلى الله عليه وسلم (اقرءوا على موتاكم ياسين)).

وهذا الحديث ضعَّفه بعض أهل العلم واحتج به بعضهم فإن قُرئت فأرجوا ألا يكون في ذلك بأس، وإن لم تُقرأ واقتُصر على التلقين،أي تلقين الميت ((لا إله إلا الله)) ليكون ذلك آخر كلامه من الدنيا فحسن.

“Para ahli fiqih –rahimahumullah- menyunnahkan membaca surat ini di sisi orang yang sedang menghadapi kematian. Sebagian ulama menyebutkan bahwa hal itu dapat memudahkan keluarnya ruh. Disunnahkannya ini didasari oleh sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bacalah Yasin atas orang yang sedang menghadapi kematian di antara kalian.”

Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama dan sebagian lain menjadikannya sebagai hujjah. Jika dibacakan, saya berharap hal itu tidak apa-apa, dan jika tidak dibacakan, maka hendaknya ditalqinkan yaitu dengan membacakan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapannya di dunia, maka itu baik.”
(Fatawa Islamiyah, 2/105. Dikumpulkan oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)


Sebagaimana telah kita simak di atas, yang dimaksud “mautakum” dalam hadis yang dikutip di awal adalah orang yang sakaratul maut, bukan orang yang telah meninggal. Lalu apakah dengan demikian menjadi salah ketika bacaan Yasin (atau bacaan quran lainnya) diamalkan terhadap orang yang sudah meninggal?

Ternyata hal tersebut pun merupakan perbedaan di kalangan ulama. Berikut ini saya kutipkan mereka yang membolehkannya.


Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat, disebutkan demikian:

وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيُّ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ } .


Dari Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut.
(al-Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)


Al-Imam Ahmad bin Hambal dan al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahumullah

Ini telah masyhur dari Imam Ahmad, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran untuk orang sudah meninggal. Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:

وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب.

Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran ( surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah.
(al-Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).

al-Imam Al Bahuti juga mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .

Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16).


Al-Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Dalam kitab Nailul Authar-nya, Ketika membahas tentang hadits dari Ibnu Abbas, tentang pertanyaan seorang laki-laki, bahwa ibunya sudah meninggal apakah sedekah yang dilakukannya membawa manfaat buat ibunya? Rasulullah menjawab: ya. (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i)

Dalam menjelaskan hadits ini, dia mengatakan:

وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ؟ فَذَهَبَتْ الْمُعْتَزِلَةُ إلَى أَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَقَالَ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ : إنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ انْتَهَى

Telah ada perbedaan pendapat para ulama, apakah ‘sampai atau tidak’ kepada mayit, perihal amal kebaikan selain sedekah? Golongan mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen). Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. Selesai. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)


Demikian sekilas uraian mengenai hal ini. Dikatakan sekilas karena telah diringkas dari pembahasan hadisnya yang panjang dan pendapat-pendapat ulama yang sangat banyak, baik dari yang mendukung maupun yang menolak.

Saya pribadi termasuk yang mendukung keshahihan hadis yang dikutip di awal, dan cenderung pada pendapat yang membolehkan (menganjurkan) mengamalkannya terhadap orang yang sakaratul maut, bukan yang telah wafat.

Sebagai penutup, saya cukupkan dengan perkataan ulama kontemporer, yang termasuk tidak setuju terhadap bacaan al-Quran untuk mayit, asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim.

أما أن نذهب إلى الميت، أو إلى القبر ونقرؤها فبعض العلماء يقول: كان بعض السلف يحب أن يقرأ عنده يس، وبعضهم يحب أن تقرأ عنده سورة الرعد، وبعضهم سورة البقرة، كل ذلك من أقوال السلف ومن أفعالهم، فلا ينبغي الإنكار في ذلك إلى حد الخصومة، ولو أن إنساناً عرض وجهة نظره واكتفى بذلك فقد أدى ما عليه، لكن أن تؤدي إلى الخصومة والمنازعة والمدافعة فهذا ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في البيان، وفي الدعوة إلى الله أو إلى سنة رسول الله.



“Adapun kami pergi menuju mayit, atau kubur, dan kami membaca Al Quran. Maka sebagian ulama mengatakan: “Dahulu kaum salaf menyukai membaca surat Yasin di samping mayit, sebagian lagi menyukai membaca surat Ar Ra’du, dan sebagian lain surat Al Baqarah. Semua ini merupakan ucapan dan perbuatan kaum salaf (terdahulu). Maka, tidak semestinya mengingkari hal itu hingga lahir kebencian. Seandainya manusia sudah menyampaikan pandangannya maka hal itu sudah cukup, dan dia telah menunaikan apa yang seharusnya. Tetapi jika demi melahirkan permusuhan, perdebatan, dan menyerang, maka ini bukanlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberikan penjelasan, dan bukan cara dakwah kepada Allah dan kepada sunah Rasulullah.”
(asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)


Wallahu a’lam