Sabtu, 01 Oktober 2011

MAKNA SAHABAT

Assalaamu'alaikum War.Wab.

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada SAHABATNYA : Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS 9 : 40

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Kapankah aku bertemu kekasih - kekasihku ?......Para sahabat berkata : Demi engkau yang membawa kebenaran, ayah dan ibu kami, apakah kami - kami ini bukan kekasihmu ?.....Rasulullah SAW menjawab : Engkau adalah sahabat - sahabatku.....sedangkan.....KEKASIH - KEKASIHKU ADALAH KAUM YANG BELUM PERNAH BERTEMU DENGANKU TETAPI BERIMAN KEPADAKU......AKU LEBIH BANYAK RINDU KEPADA MEREKA ( HR. Abu Syeikh dalam ats Tsawaab ).

Subhaanallah.....siapa orang - orang.....kaum yang belum pernah bertemu dengan beliau......mereka adalah......KITA UMAT ISLAM......walaupun belum pernah bertemu dengan beliau......tidak pernah melihat beliau......tidak tahu langsung kehidupan beliau......tetapi tetap beriman....bahkan sangat mencintai beliau.....insyaAllah kitalah yang disebut......KEKASAIH - KEKASIH RASULULLAH SAW......

Ketika diantara sahabat kita ada yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita dari sisi dunia......maka persahabatan ini pada hakekatnya adalah sebagai rasa hormat......hormat bukan berarti menhamba kepada mereka.....bukan berarti ketundukan kepada mereka......akan tetapi hormat dan bersikap santun kepada mereka......mengingatkan mereka ketika bertindak salah......mengajak mereka untuk berbuat amar ma'ruf nahi munkar......tanpa ada tendensi apapun dibalik itu semua.....

Ketika ikhwan akhwat mengadakan walimah......coba diperhatikan......siapa - siapa saja yang ada di daftar undangan......siapa saja yang hadir di acara walimah tersebut......hampir sebagian besar orang - orang......sahabat - sahabat yang mempunyai kedudukan dunia lebih tinggi......atau setidaknya sama......lantas dimana sahabat - sahabat yang mempunyai kedudukan dunia lebih rendah......dimana orang - orang miskin.....dimana anak - anak yatim.....SAYA NGGAK KENAL SAMA MEREKA......ini jawabnya........MASYAALLAH.....

Sahabat - sahabat yang mempunyai kedudukan dunia lebih tinggi dibanding kita.......serasa merekalah sahabat - sahabat yang kelak akan memberi keuntungan kepada kita......kalau diundang soalnya......SEDEKAHNYA BANYAK.....kalau nanti dimintai tolong untuk sesuatu......SUPAYA DIBANTU SEHINGGA BANYAK URUSAN MENJADI MUDAH.......sangat bertendensi....Sedangkan sahabat - sahabat yang fakir dan miskin......apa yang bisa diharap dari mereka......yang ada disekitar rumah tinggal kita saja kita tidak mengetahuinya......tidak tahu keadaannya......Nau'dzubillah....

Bukankah Nabi SAW bersabda bahwa......Sejelek - jelek makanan adalah makanan walimah.....yang tidak mengundang fakir miskin dan anak yatim.....

Dan diantara sahabat - sahabat yang sangat penting adalah......mereka yang mempunyai ilmu dan alim......mereka adalah ulama'......kita lebih kenal dan paham profil bintang sinetron......bintang hollywood......bintang sepak bola.....padahal nggak pernah ketemu juga sama mereka......mereka tidak akan pernah memberikan dampak langsung yang nyata kepada kehidupan kita.....kekaguman kepada mereka adalah bentuk kekaguman yang sia - sia.....

Sedangkan para 'alim.....para ulama'......baik salaf maupun khalaf.....nggak ada yang kenal......nggak pernah tahu.....apalagi sowan ke pesantren beliau - beliau......hih.....pesantrennya jorok.....kotor.....MasyaAllah....Mereka adalah pewaris para Nabi.....warashatul anbiyaa wal mursaliin.....mereka adalah lumbung dan gudang ilmu......dan sikap prioritas kepada sahabat - sahabat alim dan ulama harus jauh lebih tinggi.....karena.....AIR SELALU MENGALIR DARI ATAS KEBAWAH......ILMUPUN JUGA DEMIKIAN.....KETIKA DIHADAPAN ALIM ULAMA.....BERSIKAP TAWADDU'....MAKA ILMU AKAN MUDAH MENGALIRI SAHABAT YANG TAWADDU'.......

Ingatan ana tidak bisa melupakan masa lalu.....begitu saking tawaddu'nya santri - santri jaman dahulu kepada para kyai - kyai nya......sehingga sampai dengan sandal sang kyai pun dibuat rebutan untuk dibersihkannya......dipasangkannya ke kakinya......dan sisa minumannya pun dibuat rebutan para santri......dibagi sedikit - sedikit diantara para santri.

Para kyainya pun begitu tawaddu' dan ikhlas kepada santri - santrinya......senantiasa tersenyum teduh melihat santrinya.....tidak pernah marah walaupun diantara santrinya tidak sedikit yang jahil.....SEHINGGA ILMU PUN SANGAT MUDAH MENGALIR DAN DI TRANSFER KEPADA SANTRINYA......kelihatannya aneh tapi begitulah kenyataannya.....dan buktinya bisa dilihat sekarang.....orang - orang yang berilmu adalah produk - produk didikan seperti itu.....

Sedangkan realita dan kondisi sekarang ini......orang tua yang mengantarkan anaknya sekolah dan menyerahkan sepenuhnya kepada ustadz dan ustadzah nya saja......sudah sangat jarang terjadi......bahkan tidak jarang ketika anaknya disentuh sedikit saja......baik dengan perkataan maupun dengan pukulan di paha kaki yang ringan.....orang tua akan marah bukan kepalang kepada ustadz dan ustadzah anaknya......mereka meyakini produk - produk psikologi buatan manusia.....yang seringkali tidak ada pertimbangan ajaran Islam......bukankah Nabi SAW memerintahkan untuk memukul anak yang berumur 7 tahun tapi tidak mau mengerjakan shalat.....

Dan yang lebih ironis adalah......ilmu dihubungkan langsung dengan transaksi seperti dagang......selalu di hitung - hitung apa yang sudah mereka bayarkan......kalau memang mereka mau jujur sesuai dengan kata hatinya.....apa ya iya....yang sudah mereka bayarkan kepada ustadz dan ustadzahnya itu sudah sebanding dengan ilmu yang sudah diberikan oleh ustadz ustadzahnya kepada anaknya......dan ilmu adalah untuk diamalkan supaya manfaat kelak dan akan menjadi bekal nanti di akhirat......bukan diorientasikan dengan kehidupan dunia profesi dan pekerjaan secara langsung......kalaupun hal itu terjadi......maka sesungguhnya itu merupakan barakah dari ilmu tersebut.......

Ketika Hasyim 'Asyari muda berguru kepada Mbah Kyai Haji Kholil di Bangkalan Madura.....namun disana Hasyim tidak diajarkan ilmu.....tarbiyah....namun disuruh oleh kyai sepuh ini menggembala kambing dan mengisi bak penampungan air setiap hari......suatu hari Mbah Kyai Haji Kholil kelihatan murung dan sedih......dan Hasyim pun bertanya.....ada apa mbah kyai ?.......diceritakanlah kepadanya bahwa cincin mbah kyai hilang terjatuh di kakus.....WC.....

Tanpa disuruh kemudian malamnya Hasyim 'Asyari muda menguras sambil memasuki kedalam penampungan kotoran manusia itu dengan mengeluarkan isinya sedikit demi sedikit dan akhirnya ditemukannya cincin kyai nya itu menjelang subuh......Subhaanallah.....

Setelah diberikannya cincin itu kepada Mbah Kyai Haji Kholil.....sekita Hasyim 'Ashari muda didoakan.....semoga kamu Hasyim.....kelak menjadi orang besar dengan ilmumu.....dan hari itu juga Hasyim 'Ashari muda disuruh kyai nya pulang ke Jombang.....Hasyim bertanya kepada kyai nya kenapa disuruh pulang padahal dia belum diajari ilmu apapun kecuali menggembala kambing dan mengisi bak penampungan air......MBAH KYAI HAJI KHOLIL KEMUDIAN BERKATA......HASYIM....ILMUKU SUDAH KAMU SERAP SEMUANYA TAK TERSISA......

Ketika Hasyim muda sudah berada di Jombang dan berkumpul dengan jamaah umat Islam yang awam......dia diminta untuk mengisi nasehat atau tausiah karena dia baru saja pulang dari pondok.......dengan sedikit ragu akhirnya Hasyim 'Ashari muda saat itu memberikan nasehat kepada jamaah di kampungnya.......dan apa yang terjadi......BIIDZNILLAAHI....WABI RIDHOOILLAAHI......SERASA APA YANG DISAMPAIKAN HASYIM ADALAH BUKAN MELUNCUR DARI PIKIRANNYA SENDIRI.....ADA YANG MENGIRIMKAN MATERI YANG DISAMPAIKANNYA......kayak download geto loooh.......

MBAH KYAI HAJI HASYIM ASHARI......beliaulah orang besar yang pernah ada di negeri ini......khususnya di Jawa Timur......lahirlah sebuah harakah....halaqah.....Nahdhatul Ulama.....yang mempunyai komponen penting perjalanan umat Islam di Indonesia......mudah - mudahan Allah senantiasa memberikan rahmat Nya kepada beliau.....dan ratusan kyai - kyai sepuh tersebar di bumi pulau jawa.......yang mereka adalah produk - produk ketawaddu'an dalam ilmu......bersahabat dengan orang - orang yang berilmu......dan sebagian besar mereka adalah......NU......YANG SAAT INI KEHILANGAN ARAH PERJUANGANNYA......

Namun begitu sikap ana......dan mudah - mudahan sikap antum semua......kita harus menghormati mereka semua......sebagai saudara.....sebagai sahabat......Jangan mereka dikambing hitamkan.....jangan mereka dihina.....jangan mereka disakiti.....KARENA MENGHINA.....MENYAKITI MEREKA.....SAMA ARTINYA DENGAN.....MENYAKITI RATUSAN KYAI - KYAI SEPUH YANG KARAMAH ILMUNYA BEGITU DAHSYAT DAN LUAR BIASA.......

Wassalaamu'alaikum War. Wab.

Senin, 01 Agustus 2011

hadist Mata Pencaharian yang Paling Baik

Pastinya di sektor riil... itulah usaha.

Berikut ini ulasan dari alsofwah.or.id dikutip dari salah satu kitab syarah bulughul maraam.

Selamat berusaha ! :D

----------


Dari Rifa’ah bin Rafi’ radiyallallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang mabrur.”(HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim rahimahullah)


Takhrij Hadits:

Hadits ini shahih dengan banyaknya jalur periwayatannya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim”, beliau berkata di dalam kitab beliau at-Talkhish:”Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ath-Thabrani, dan di dalam bab ini ada hadits juga dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar g. Hal itu disebutkan oleh Abi Hatim rahimahullah. Ath-Thabrani meriwayatkan di dalam kitab al-Ausath hadits dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu, dan para perawinya La Ba’sa (tidak ada masalah)

Disebutkan di dalam kitab Bulughul Amani, “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dikeluarkan oleh as-Suyuthi di dalam Jami’us Shaghir, dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi secara Mursal, dan dia berkata, “Inilah yang mahfuzh Wallahu A’lam”.

Al-Haitsami rahimahullah berkata di dalam kitab Majmau’z Zawaid setelah beliau menyebutkan bahwa hadits itu memiliki banyak jalur periwayatannya, maka beliau berkata tentang riwayat Imam ath-Thabrani, “Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”. Dan berkata tentang jalurnya Imam Ahmad, “Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”.


Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas.

1.Hadits di atas menjelaskan salah satu ajaran di dalam Islam yaitu motivasi dan anjuran untuk berusaha, bekerja dan mencari rizki yang baik. Dan juga bahwasanya Islam itu adalah aturan agama dan Negara, sebagaimana Islam memerintahkan ummatnya untuk menunaikan hak Allah Subhanahu waTa’ala (ibadah), maka Islam juga memerintahkan untuk mencari rizki dan untuk berusaha memakmurkan dan mengembangkan bumi. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. al-Mulk: 15)

2. Dalil bahwasanya mata pencaharian terbaik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri (usaha sendiri). Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari memakan makanan yang diperoleh dari jeripayahnya sendiri.”

3. Dalil bahwasanya perdagangan adalah salah satu mata pencaharian yang paling baik, dengan catatan apabila selamat (terbebas) dari akad-akad yang diharamkan seperti riba, ketidak jelasan, penipuan, penyamaran (menutup-nutupi cacat pada barang dagangan) dan lain-lain yang termasuk dalam kategori memakan/mendapatkan harta orang lain dengan batil.

4. Dalil bahwasanya al-Birru (kebaikan) sebagaimana terdapat dalam Ibadah, maka dia juga terdapat dalam Muamalat (interaksi sesama manusia).Apabila seorang muslim tulus dalam jual belinya, produksinya, pekerjaannya dan profesinya, maka perbuatannya ini termasuk al-Birru dan al-Ihsan yang diberikan balasan di dunia dan akhirat.

5.Bahwasanya amalan apapun yang dilakukan oleh setiap muslim yang diniatkan untuk menjaga kehormatan dirinya (tidak meminta-minta), dan untuk mencukupkan dirinya dari (bergantung kepada) apa-apa yang ada di tangan manusia, maka itu termasuk pekerjaan yang baik. Dan setiap manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu waTa’ala sesuai dengan apa yang menjadi pekerjaan dan profesinya.

6. Tidak adanya pengkhususan dari Syari’ (Allah) dan penentuan jenis pekerjaan tertentu, adalah dalil bahwa maksud hal itu adalah terwujudnya Iradah Kauniyah/ kehendak kauniyah yaitu memakmurkan alam dunia ini, dengan bekerjanya masing-masing orang atau kelompok dengan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha: 50)

7. Seorang laki-laki dalam hadits di atas bukanlah maksud (bukan pengkhususan), akan tetapi disebutkan dalam hadits karena kebanyakan seorang laki-laki lah memiliki pekerjaan dan bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga.

8. Jual beli mabrur adalah jual beli yang terjadi sesuai dengan konsekuensi syari’at yaitu terpenuhinya syarat, rukun, penyempurna dan tidak adanya penghalang (yang menghalangi sahnya transaksi) dan perusak transaksi. Maka harus terkumpul di dalamnya persyaratan yang telah lalu dan tidak adanya penghalang berupa gharar (ketidak jelasan), unsur judi, riba, penipuan dan penyembunyian cacat barang.


Beda pendapat Ulama

Para ulama telah berbeda pendapat tentang penentuan pekerjaan (mata pencaharian) yang paling utama dan paling baik.

Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Yang paling baik adalah bercocok tanam (bertani) karena hal itu lebih dekat dengan sikap tawakkal.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebaik-baik mata pencaharian adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri. Seandainya bertani (bercocok tanam) adalah sebaik-baik pekerjaan maka hal itu dikarenakan apa yang terkandung di dalamnya berupa statusnya sebagai pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, ada tawakkal, dan di dalamnya ada manfaat yang luas bagi manusia lain, binatang melata dan burung-burung.”

Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebaik-baik penghasilan (mata pencaharian) adalah apa yang didapatkan dari harta orang kafir, dengan jalan jihad, karena hal itu adalah pekerjaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena di dalamnya terdapat tujuan meninggikan (menegakkan) kalimat Allah Subhanahu waTa’ala.”

Dan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan duniawi yang paling utama. Sebagian mereka mengatakan yang utama adalah bercocok tanam (bertani), sebagian yang lain mengatakan perdagangan, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangan sendiri berupa produksi maupun keahlian yang lain.”

Dan yang paling baik untuk dikatakan dalam pembahasan ini, “Bahwa sesunguhnya pekerjaan yang paling utama adalah sesuatu yang paling cocok dengan kondisinya masing-masing. Dan wajib pada semua bidang pekerjaan adanya ketulusan dan tidak adanya penipuan serta menunaikan kewajiban dari segala segi.”

Ibnu al-Muflih rahimahullah berkata dalam kitabnya “Adabusy Syar’iah” yang ringkasannya, “Dianjurkan (disunahkan) untuk bekerja walaupun telah berkecukupan, sebagaimana dibolehkan mencari pekerjaan yang halal untuk menambah kekayaan, kedudukan, kemewahan, kesenangan dan kelapangan terhadap anggota keluarganya yang disertai dengan selamatnya agama, kehormatan, harga diri dan lepasnya tanggung jawab.”

Dan hal itu (bekerja) adalah wajib bagi orang yang tidak memiliki bahan makanan untuk dirinya dan untuk orang-orang yang nafkahnya berada dalam tanggungannya. Dan didahulukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa, ketika menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya (tidak memberinya nafkah).” (HR. Muslim)

Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Bekerja yang tidak dimaksudkan untuk bermewah-mewahan, akan tetapi tujuannya hanya sebagai sarana ketaatan (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu waTa’ala, seperti menyambung kekerabatan (silaturahim), dan menjaga kehormatan diri untuk tidak meminta-minta, maka yang seperti ini lebih utama. Hal itu karena apa yang terkandung di dalamnya berupa manfaat untuk orang lain dan dirinya sendiri. Dan ia juga lebih utama daripada ibadah nafilah (sunnah), karena di dalamnya ada manfaat untuk manusia yang lain sedangkan ibadah nafilah manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.”

Sumber: Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, Kitab al-Buyu’ hadits no. 660, diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono

------------

Hadis Shahih: Yasin untuk Orang yang (akan) Meninggal

Hadis Shahih: Yasin untuk Orang yang (akan) Meninggal  untuk semuanya

Hadis yang dimaksud adalah;

dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس

“Bacalah surat Yasin kepada orang yang (menjelang) wafat di antara kalian.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dll)

Hadis ini didhaifkan oleh asy-Syaikh al-Albani (lihat Irwa’ul Ghalil dan lainnya). Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab shahihnya, maka menurutnya ini shahih, sebagaimana ditegaskan pula oleh al-Hafizh Ibnu Hajar (Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah). Selain itu, di antara yang menguatkan hadis ini, dengan berbagai dalilnya, adalah al-Imam ash-Shan’ani, al-Imam asy-Syaukani dan lainnya.

Perbedaan dalam keshahihan hadis tersebut juga berakibat pada adanya perbedaan di kalangan ulama tentang pengamalannya. Namun kali ini, saya akan kutipkan di antara ulama yang membolehkan mengamalkannya.


Al-Imam An Nawawi Rahimahullah, mengatakan dalam kitabnya, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:

يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ المُحْتَضَرِ سُورَةَ (يس) هَكَذَا قَالهُ أَصْحَابُنَا وَاسْتَحَبَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ سُورَةَ الرَّعْدِ أَيْضًا.


“Disunahkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian. Demikian ini juga dikatakan oleh para sahabat kami (syafi’iyah), dan disukai pula oleh sebagian tabi’in membaca surat Ar Ra’du.”
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/76. Dar ‘Alim Al Kitab)


Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, mengatakan dalam tafsirnya:

وكأن قراءتها عند الميت لتنزل الرحمة والبركة، وليسهل عليه خروج الروح، والله أعلم.

“Dan, seakan membacanya di sisi mayit akan menurunkan rahmat dan berkah, dan memudahkan keluarnya ruh. Wallahu A’lam”
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/562. Dar An Nasyr wat Tauzi’)


Asy-Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:

وقال الجمهور: يندب قراءة {يس} لحديث «اقرؤوا على موتاكم يس» واستحسن بعض متأخري الحنفية والشافعية قراءة {الرعد} أيضا ً، لقولجابر: «إنها تهون عليه خروج روحه»

والحكمة من قراءة {يس} أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عنده، تجدد له ذكر تلك الأحوال.

Jumhur ulama mengatakan: disunahkan membaca Yasin, lantaran hadits: Bacalah oleh kalian kepada orang yang menghadapi sakaratul maut, surat Yasin. Sebagian ulama muta’akhirin (belakangan) dari kalangan Hanafiah dan Syafi’iyah juga memandang baik membaca surat Ar Ra’du, dengan alasan perkataan Jabir: “Hal itu bisa meringankan ketika keluarnya ruh.”

Hikmah dibacakannya surat Yasin adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan di dalam srat tersebut. Maka, jika dibacakan di sisinya hal itu bisa memperbarui ingatannya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.
(Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)

Lebih jauh lagi, yang menarik adalah, mereka yang lebih setuju pada kedhaifan hadis tersebut, tetap berlapang dada terhadap yang mengamalkannya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah, fatwa beliau:

قراءة سورة (يس) عند الاحتضار جاءت في حديث معقل بن يسار أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « اقرءوا على موتاكم يس » صححه جماعة وظنوا أن إسناده جيد، وأنه من رواية أبي عثمان النهدي عن معقل بن يسار , وضعفه آخرون , وقالوا: إن الراوي له ليس هو أبا عثمان النهدي، ولكنه شخص آخر مجهول، فالحديث المعروف فيه أنه ضعيف لجهالة أبي عثمان , فلا يستحب قراءتها على الموتى، والذي استحبها ظن أن الحديث صحيح فاستحبها , لكن قراءة القرآن عند المريض أمر طيب ولعل الله ينفعه بذلك , أما تخصيص سورة (يس) فالأصل أن الحديث ضعيف فتخصيصها ليس له وجه.



Membaca surat Yasin bagi orang yang sakaratul maut, telah ada hadits dari Ma’qil bin Yasar bahwa Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah Yasin atas orang yang sedang menghadapi kematian di antara kalian.” Hadits ini dishahihkan oleh jamaah ahli hadits, mereka menganggap sanadnya jayyid. Ini diriwayatkan oleh Abu Utsman AL Hindi dari Ma’qil bin Yasar, yang telah didhaifkan oleh yang lainnya. Mereka mengatakan: sesunggunya perawi ini bukanlah Abu Utsman Al Hindi tetapi orang lain yang majhul (tidak dikenal). Maka hadits ini telah dikenal adanya kelemahan lantaran kemajhulan Abu Utsman maka tidak disunahkan membacakannya atas orang yang mengalami sakaratul maut, dan bagi yang menshahihkan hadits ini maka membacanya adalah disunahkan. Tetapi membacanya bagi orang sakit adalah perkara baik yang semoga Allah memberikan manfaat dengannya. Ada pun mengkhususkan surat Yasin, maka pada dasarnya bahwa hadits ini dhaif, maka tidak ada jalan untuk mengkhususkannya.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/94. Muhammad bin Sa’ad As Suwai’ir. Mawqi’ Ar Riasah Al ‘Ammah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta)


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah ditanya tentang apa hukumnya membaca surat Yasin untuk orang yang sedang menghadapi sakaratul maut beliau menjawab:

الفقهاء رحمهم الله استحبوا قراءة هذه السورة عند المحتضر وذكر بعض أهل العلم أنها مما يسهل خروج الروح واستحباب قراءتها عند المحتضر مبني على قول النبي، صلى الله عليه وسلم (اقرءوا على موتاكم ياسين)).

وهذا الحديث ضعَّفه بعض أهل العلم واحتج به بعضهم فإن قُرئت فأرجوا ألا يكون في ذلك بأس، وإن لم تُقرأ واقتُصر على التلقين،أي تلقين الميت ((لا إله إلا الله)) ليكون ذلك آخر كلامه من الدنيا فحسن.

“Para ahli fiqih –rahimahumullah- menyunnahkan membaca surat ini di sisi orang yang sedang menghadapi kematian. Sebagian ulama menyebutkan bahwa hal itu dapat memudahkan keluarnya ruh. Disunnahkannya ini didasari oleh sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bacalah Yasin atas orang yang sedang menghadapi kematian di antara kalian.”

Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama dan sebagian lain menjadikannya sebagai hujjah. Jika dibacakan, saya berharap hal itu tidak apa-apa, dan jika tidak dibacakan, maka hendaknya ditalqinkan yaitu dengan membacakan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir ucapannya di dunia, maka itu baik.”
(Fatawa Islamiyah, 2/105. Dikumpulkan oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)


Sebagaimana telah kita simak di atas, yang dimaksud “mautakum” dalam hadis yang dikutip di awal adalah orang yang sakaratul maut, bukan orang yang telah meninggal. Lalu apakah dengan demikian menjadi salah ketika bacaan Yasin (atau bacaan quran lainnya) diamalkan terhadap orang yang sudah meninggal?

Ternyata hal tersebut pun merupakan perbedaan di kalangan ulama. Berikut ini saya kutipkan mereka yang membolehkannya.


Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat, disebutkan demikian:

وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيُّ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ } .


Dari Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut.
(al-Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)


Al-Imam Ahmad bin Hambal dan al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahumullah

Ini telah masyhur dari Imam Ahmad, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran untuk orang sudah meninggal. Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:

وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب.

Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran ( surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah.
(al-Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).

al-Imam Al Bahuti juga mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .

Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16).


Al-Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Dalam kitab Nailul Authar-nya, Ketika membahas tentang hadits dari Ibnu Abbas, tentang pertanyaan seorang laki-laki, bahwa ibunya sudah meninggal apakah sedekah yang dilakukannya membawa manfaat buat ibunya? Rasulullah menjawab: ya. (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i)

Dalam menjelaskan hadits ini, dia mengatakan:

وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ؟ فَذَهَبَتْ الْمُعْتَزِلَةُ إلَى أَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَقَالَ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ : إنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ انْتَهَى

Telah ada perbedaan pendapat para ulama, apakah ‘sampai atau tidak’ kepada mayit, perihal amal kebaikan selain sedekah? Golongan mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen). Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. Selesai. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)


Demikian sekilas uraian mengenai hal ini. Dikatakan sekilas karena telah diringkas dari pembahasan hadisnya yang panjang dan pendapat-pendapat ulama yang sangat banyak, baik dari yang mendukung maupun yang menolak.

Saya pribadi termasuk yang mendukung keshahihan hadis yang dikutip di awal, dan cenderung pada pendapat yang membolehkan (menganjurkan) mengamalkannya terhadap orang yang sakaratul maut, bukan yang telah wafat.

Sebagai penutup, saya cukupkan dengan perkataan ulama kontemporer, yang termasuk tidak setuju terhadap bacaan al-Quran untuk mayit, asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim.

أما أن نذهب إلى الميت، أو إلى القبر ونقرؤها فبعض العلماء يقول: كان بعض السلف يحب أن يقرأ عنده يس، وبعضهم يحب أن تقرأ عنده سورة الرعد، وبعضهم سورة البقرة، كل ذلك من أقوال السلف ومن أفعالهم، فلا ينبغي الإنكار في ذلك إلى حد الخصومة، ولو أن إنساناً عرض وجهة نظره واكتفى بذلك فقد أدى ما عليه، لكن أن تؤدي إلى الخصومة والمنازعة والمدافعة فهذا ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في البيان، وفي الدعوة إلى الله أو إلى سنة رسول الله.



“Adapun kami pergi menuju mayit, atau kubur, dan kami membaca Al Quran. Maka sebagian ulama mengatakan: “Dahulu kaum salaf menyukai membaca surat Yasin di samping mayit, sebagian lagi menyukai membaca surat Ar Ra’du, dan sebagian lain surat Al Baqarah. Semua ini merupakan ucapan dan perbuatan kaum salaf (terdahulu). Maka, tidak semestinya mengingkari hal itu hingga lahir kebencian. Seandainya manusia sudah menyampaikan pandangannya maka hal itu sudah cukup, dan dia telah menunaikan apa yang seharusnya. Tetapi jika demi melahirkan permusuhan, perdebatan, dan menyerang, maka ini bukanlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberikan penjelasan, dan bukan cara dakwah kepada Allah dan kepada sunah Rasulullah.”
(asy-Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)


Wallahu a’lam

Jumat, 08 Juli 2011

YAA SIIN

Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka mendapat hasanat / kebaikan dan tiap hasanat mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata : Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.(HR. At Tirmidzi).

Lihat Hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali....Pahala apa yang akan diberikan Allah SWT. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas....Untuk lebih gampangnya kita ambil misal saja, bila pahala yang diberikan Allah SWT. untuk satu huruf tersebut misalnya sudah kita ketahui yaitu berupa satu pohon di surga dan Dia akan melipatkan 10x pahalanya berarti kita akan memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya....jadi kita bisa hitung sendiri berapa pohon yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja ??....Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya....Jangan kita sendiri yang membatasinya !!!

Iqrauu yaasin ‘alaa mautaakum....Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)....Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra  juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).

Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah SAW bersabda....Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin). (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul Mashabih).

Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah SAW. bersabda....Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Quran. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan dan telah) wafat diantaramu. (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata : Para ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).

Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda : Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni (Imam Malik bin Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).

Hadits ini menyebutkan pahala tertentu bacaan surat Yaasin, Allah SWT. akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan ini yang selalu diharapkan oleh setiap Muslimin !!!....Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Katsir telah mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).

Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal....Juga mengenai fadhilah/pahala membaca surat Al-Ikhlas, Abu Muhammad As-Samarkandy, Ar-Rafi’i dan Ad-Darquthni, masing-masing  menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulallah saw. bersabda:

Ma'aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda....Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur).

Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini, mengamalkannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan tambahan.

Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin....Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat ilahi yang melarang orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an....Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharuskan/mewajibkan orang membaca hanya ayat itu saja !!!

Golongan yang tidak sependapat ada yang mengatakan bahwa Ibnul Qayyim berkata : Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu !  Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi Al-Quran yang lain !!!

Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain seperti berikut ini :

Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi SAW bersabda....Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam ?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka : ‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah ?....Maka sabda Nabi SAW ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas  adalah sepertiga dari Al- Qur’an”.  (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i). Ada riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Ikhlas saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya.

Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: 'Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain ( Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan segala do’a-do’a lainnya'. (HR At Tirmidzi)

Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata manusia....Juga mendapat pahala yang membacanya....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi SAW : Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqarah pada waktu malam telah mencukupinya. (HR.Bukhori dan Muslim).

Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu....Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqarah (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat 285....sampai akhir ayat al Baqoroh Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah SAW bersabda : Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk). (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan dosanya....Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi SAW bersabda : Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya setan  lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah.  (HR.Muslim)

Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqarah bisa mengusir setan dari rumah kita....Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqarah saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !!!

Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah SAW : Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal. (HR.Muslim)....Dalam lain riwayat : Sepuluh ayat dari akhir surat Al- Kahfi’.

Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!

Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak dikemukakan satu persatu disini....Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat dan sebagainya.

Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakan ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak !!!....Dan kitab - kitab salaf yang menukil hadits - hadits dan riwayat - riwayat tersebut diatas telah diajarkan oleh guru - guru kami yang sanadiyah ilmunya jelas dan tersambung hingga mamba'ul ulum Rasulullah SAW.

Apabila ada saudara sesama muslim yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda dan tidak setuju terhadap amalan demikian itu maka tidak seharusnya kemudian melarang bahkan mencaci, melaknat bahkan membid'ahkan munkar kepada pengamalnya....Mujadalah atau dialog terbuka yang disaksikan kaum awam adalah cara yang paling tepat untuk itu....dan hal itu harus dilakukan oleh para Ahlul ilmu, ahlul haali....bukan kaum awam yang sangat terbatas kemampuan ilmunya....Kami berlindung pada Allah SWT.....Wallaahua'lam.

BACAAN QUR'AN UNTUK MAYIT

Wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458....Dari Ibnu Umar ra : Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya.

Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang meng- ingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu ( Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25 ).

Dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan....Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya.

Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.

Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda :Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah mem- bawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya. (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda....Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat.

Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil  oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah ra  mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu ghaib (yaitu mengenai imbalan pahala) tidak dari Rasulallah SAW.

Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzib mengatakan....Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk  penghuni kubur....Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :

Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari  ijma’ para ulama dan di lihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenar kan.

Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih diperselisihkan. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat....Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan).

Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an pada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid--pen.) dan dimanapun berada (kecuali di WC)....Pokok perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak!  (Jadi bukan masalah pembacaannya)

Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori....1. Disepakati tidak bermanfaat : memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat....2. Disepakati bermanfaat : seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat....3. Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal.

Sementara sebagian ulama madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat pahala- nya dapat diterima oleh yang telah mati....Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.

Dan berikut ulama-ulama pakar dan kitab mereka yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit diantaranya sebagai berikut:

Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan madzhab Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa  “Al-Khallal  dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi  (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

Kita tidak boleh langsung mengatakan semua amalan yang menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya....Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut  menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh diamalkan !....Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan munkar amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka....Wallahua'lam

MANFAAT TAQWA DAN CARA MEMELIHARANYA

 oleh : Hariono Fadhil

Taqwa berasal dari waqa atau yaqii atau waqaayah yang artinya kehati-hatian, yang maksudnya adalah hidup dengan kehati-hatian.

Misalkan ada orang yang membagi-bagikan uang, setelah ditanya oleh temannya, itu uang apa? Lantas dijawab, ini adalah uang dari kelebihan anggaran. Tentu kalau orang yang taqwa ia akan menolaknya karena hati-hati, ditakutkan bahwa uang tersebut haram. Tapi kalau kita menikmati uangnya, maka kita bukan termasuk orang taqwa.

Manfaat Taqwa :

1. Lafatahna alaihim barokatimminassamai wal’ardhi,
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Kalau ibu-ibu dan bapak-bapak masih merasakan berkah, maka itu adalah hasil dari taqwa. Karena berkah adalah ziyadul khoir, sesuatu yang memiliki nilai tambah. Ada orang yang gajinya pas-pasan tapi ia bisa memenuhi kebutuhannya yang sama sekali tidak kekurangan. Tapi ada juga orang yang penghasilannya besar, kebutuhannya tidak seberapa, tapi ia merasakan kekurangan terus menerus. Mendapatkan uang muncul musibah, punya duit ditimpa kecelakaan, jangan-jangan kasus seperti ini karena hidupnya tidak berkah.

Jadi berkah adalah bertambahnya kebaikan, bukan saja dalam bilangan nominal tetapi bertambahnya nilai sehingga menjadi sesuatu yang manfaat.

2. Orang taqwa adalah intattaqulloha yaj’allahu furqona.
Orang taqwa diberikan furqon(pembeda) oleh Allah, bahkan ia akan berani tampil beda karena ketaqwaannya. Maka sering kita lihat ada orang-orang itu kelihatan auranya baik karena nilai taqwa dalam dirinya sehingga terpancar ke luar, dan pancaran seperti ini tidak bisa dibuat-buat. Kalau kita ingin hidup beda dengan yang lain dalam segala hal terutama dalam quality, maka kita harus taqwa.

3. Orang taqwa itu adalah wayukaffir anhum sayyiatikum,
Jika kamu bertaqwa, Allah akan menghapus segala macam kesalahannya. Karena taqwa itu hati-hati, maka ketika ia berbuat dosa langsung ingat pada Allah, sambil mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah, allahu akbar, istighfar, dll, lalu menyadari bahwa yang dilakukannya itu salah, dosa. Kemudian ia bertaubat seraya meminta ampun atas dosa yang telah ia perbuat. Akan tetapi kalau ada orang yang berbuat dosa kemudian tidak langsung taubat tapi dia cuek-cuek saja, dia tenang-tenang saja, apalagi ia merasa bangga setelah melakukan dosanya itu, maka ia bukan termasuk orang taqwa tetapi fasiq.

4. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah baginya ada jalan keluar.
Orang taqwa itu tidak pernah tertinggal dari jalan keluar, selalu saja datang solusi. Di kita kalau dalam keadaan terdesak, solusi yang haram pun terkadang dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti menggunakan cara-cara pintas dengan mencari atau melakukan perbuatan yang haram, solusinya mungkin terpenuhi tapi berikutnya ia akan menghadapi masalah. Berbeda dengan orang yang taqwa, pasti ada saja solusi yang baik dan benar.

5. Wayarzuqhu min haitsu la yahtasib,
Mendapatkan rezeki diluar dugaan, gaji besar, THR besar, rezeki yang tidak disangka-sangka, dll. Sebaliknya orang yang tidak taqwa, rezekinya itu seakan-akan ditunda-tunda untuk diturunkan kepadanya.

6. Wamayyatawakkal alalloh fahuwa hasbuh,
Allah akan mencukupkan orang yang taqwa karena ketawakkalannya. Cukup itu tidak identik dengan mewah, atau nominalnya yang besar, bukan seperti itu, tetapi cukup itu ketika kebutuhan kita tercukupi dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.

7. Hatinya tenang.
Keluh kesah, gelisah atau perasaan negatif lainnya tidak akan tumbuh pada diri orang yang taqwa.

Oleh karena itu ada 7 amalan untuk menjaga dan memelihara ketaqwaan kita, antara lain :

1. Qiyamullail, bangun malam untuk melaksanakan sholat tahajud.
2. Membaca Al-qur’an, minimal sehari 10 ayat atau sehari se-ayat tapi beserta terjemahannya kemudian difahami.
3. Membiasakan shaum (puasa) sunnah.
4. ‘Itikaf, kapan saja dilakukan, ketika kita mempunyai banyak waktu maka masuklah ke dalam masjid, cukup setengah jam saja, dengan bersimpuh kepada Allah : “Ya Tuhan nama saya fulan bin fulan, banyak dosa yang telah saya lakukan oleh karena itu ampuni saya”. Ia senantiasa mengakui dosa dan kesalahannya lalu meminta ampun kepada Allah SWT.
5. Shodaqoh , berusaha untuk gemar bershodaqoh, berinfaq dan sejenisnya.
6. Selalu ber-do'a, berdo'a dalam segala keadaan,  jangan berdo'a hanya dalam menghadapi persoalan berat saja, tapi hal-hal yang kecil-pun jangan terlewati, seperti mau makan, dsb.
7. Silaturahim. Suka menyambung tali silaturrahim, insyaallah taqwa kita pun dijamin surga karena silaturahim yang kita lakukan.

“Ya Allah, bimbing kami agar menjadi orang yang bertaqwa agar kami senantiasa berhati-hati dalam setiap tindakan, dalam berbicara, dalam menatap, dalam bergaul, berdagang maupun bekerja, dengan cara mu Wahai Muahammad,

"Mudah-mudahan Engkau tulis kami sebagai hamba yang muttaqin. Sebagai hamba yang banyak dosa, maafkan dosa kami".

"Ya Allah berilah surga yang telah Engkau janjikan dan jauhkan kami dari nerakamu, semata-mata bukan karena amal-amal kami tapi karena rahman-rahim-Mu".

"Berikan semua rezeki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang diterima, jauhkan kami dari penyakit dan derita, bukakan pintu hati ibu dan bapak kami sehingga mereka ridho terhadap kami.”

Aamiin...

ATSAARUL ANBIYAA' WASH SHAALIHIIN

Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan....Pernyataan ini bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.

Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah....Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah....Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.

Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini....Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya....Bahwasanya pada suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah)....Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau)....Marwan menghardik orang itu : Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?....lalu orang itu menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi) kemudian berkata : Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya....Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.

Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda....Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya. (H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).

Dalam hadits lain, beliau bersabda....Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti akan memperoleh syafa'atku. (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi berkomentar : Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang berbeda-beda, lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya  as-Suyuthi, hlm. 308).


Dalam kitab Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa  Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya....Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...! (Ma hadzihi al jafwah)....Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah....Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah.

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda....Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya. (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).

Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al Minqari berkata : Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah....Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan....Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu : Wahai Rasulullah ! lapar...lapar....lalu aku kembali....Abu as-Syaikh berkata kepadaku : Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati.... Abu Bakr melanjutkan kisahnya : Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu....Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya  ada banyak makanan....Maka kami duduk lalu makan....Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu tetapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami....Setelah kami selesai makan, 'Alawi  itu berkata : Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah ?...sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian.

Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik....Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam....Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .

Dalam kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis : Ketika khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi'i) : Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah ?....Imam Malik menjawab : Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alaihissalam ?....menghadaplah kepada beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau, niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda....Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).

Dalam kitab Tuhfah Ibn 'Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis.

Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla....Imam Ahmad menjawab : Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik).

Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain)....Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'....Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah....Ia tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik).


Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya....Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup.

Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.

Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al 'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).

Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka....Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a....Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan....Termasuk tempat yang sering menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh. (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).

Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.

Di Antara Argumen Buruk Kaum Wahhabi Tentang Tabarruk Dan Tawassul; KITA BONGKAR DI SINI.. !!!

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan: A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!. B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!. Jawab: A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja. Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut: بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ. “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” . Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan: وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ “Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” . Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali. As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata: اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ. “-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” . Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas. Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut: وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى. “Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” . Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja. Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?! B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil [ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi] Bag. 2

Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat. Kata fawq dengan disandarkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah. Di antaranya dalam firman Allah: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18) Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya. Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjelaskan bahwa pemaknaaan seperti itu; yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-‘Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah: سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (الأعلى: 1) juga yang dimaksud dengan firman-Nya: وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (اابقرة: 255) Karena makna al-‘Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah. Dengan jelas tentang hal ini Ibn Hajar menuliskan: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-‘Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-‘Âli, al-‘Alyy, dan al-Muta’âli”. Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda. Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18) menuliskan sebagai berikut: “Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan:“Fulân Fawqa Fulân”, maka artinya si fulan yang pertama (A) lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua (B), bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa ‘Ibâdih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibâdih” (dengan mempergunakan kata jamak)“ (Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 23). Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl menuliskan sebagai berikut: “Allah berfirman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan berfirman tentang para Malaikat: يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ (النحل: 50) Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi. Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah: يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10) dan firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18). Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan. Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat adalah firman Allah: وَفَوْقَ كُلّ ذِي عِلمٍ عَلِيْمٌ (يوسف: 76) Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan. Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am: 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhâr; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Ghulâm Fawq as-Sulthân” atau “al-Ghulâm Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah. Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat, dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhâfuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Karena sesungguhnya seseorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” (Idlâh ad-Dalîl, h. 108-109). Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya. Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut: “Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian. Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm. Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalîfah Fawq as-Sulthân, Wa as-Sulthân Fawq al-Amîr”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulân Fawq Fulân”, maka artinya: “Si fulan (A) kedudukannya di atas si fulan (B)”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilm Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah: وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ (الزخرف: 32) artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: وَإنّا فَوقَهُمْ قَاهِرُوْنَ (الأعراف: 127) yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun merasa menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” (Lihat dalam Risâlah Fî Nafy al-Jihah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 9, h. 47). Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân menuliskan tentang pemahaman kata fawq pada hak Allah, sebagai berikut: “...antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhir Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhâfûna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Innâ Fawqahum Qâhirûn” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai mereka”. Salah seorang ulama bahasa yang sangat terkenal; az-Zujaji, dalam kitab Isytiqâq Ismâ’ Allâh al-Husnâ menuliskan bahwa makna al-‘Alyy dan al-‘Âli pada hak Allah adalah dalam pengertian menguasai dan menundukan segala sesuatu. Al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut: “Makna ke tiga; bahwa pengertian al-‘Uluww adalah al-Ghalabah (menguasai dan menundukan) seperti dalam firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), artinya: “Kalian dapat menguasai dan menundukan musuh-musuh kalian”. Contoh lainnya seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab: “’Alawtu Qarnî...”, artinya: “Saya telah menguasai teman-teman sebaya saya”. Contoh lainnya firman Allah: “Inna Fir’awna ‘Alâ Fî al-Ardl” (QS. Al-Qashash: 4), artinya: “Fir’aun seorang yang berkuasa, sombong, dan durhaka”. Contoh lainnya firman Allah: “Wa an Lâ Ta’lû ‘Alâ Allâh” (QS. Ad-Dukhan: 19), artinya: “Janganlah kalian sombong atas Allah”. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan Nabi Sulaiman: “An Lâ Ta’lû ‘Alayya Wa’tûnî Muslimîn” (QS. An-Naml: 31), artinya: “Janganlah kalian sombong atasku dan datanglah kalian kepadaku dalam keadaan Islam”. Demikian pula nama Allah al-‘Alyy diambil dari kata al-‘Uluww dalam pengertian bahwa Allah maha tinggi atau maha agung pada derajat-Nya di atas segala apapun, artinya tidak ada apapun yang lebih agung dari pada Allah. Pengertian al-‘Alyy di sini bukan berarti Allah berada di arah atas, karena Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”. Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut: “Allah berfirman: “al-Kabîr al-Muta’âl” (QS. Ar-Ra’ad: 9). Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits tentang nama-nama Allah; telah berkata al-Halimi: Pengertian ayat di atas ialah bahwa Allah Maha Suci dari segala apa yang ada pada makhluk-makhluk-Nya, seperti memiliki istri, anak, anggota badan (baik yang besar maupun anggota yang kecil), mengambil ranjang (tempat) untuk duduk di atasnya, bersembunyi di balik tirai supaya tidak terlihat, pindah dari satu tempat ke tampat lain, dan lain sebagainya. Karena sifat-sifat semacam ini sebagiannya menetapkan adanya bentuk dan penghabisan, sebagian lainnya menetapkan adanya kebutuhan kepada yang lain, dan sebagian lainnya menetapkan adanya perubahan. Sedikitpun sifat-sifat semacam demikian itu sangat tidak layak bagi Allah dan mustahil atas-Nya”. Al-Imâm al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl dalam menjelaskan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhîm” (QS. Al-Baqarah: 255), firman Allah: “Sabbihisma Rabbik al-A’lâ” (QS. Al-A’la: 1), dan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Saba’: 23), menuliskan bahwa makna-makna itu semua penjelasannya adalah dalam pemahaman ketinggian derajat, keagungan, dan kekuasaan bagi-Nya, bukan dalam pengertian arah atau tempat yang tinggi. Kita semua sepakat dalam memahami makna-makna dari beberapa ayat tentang “Ma’iyyah Allâh”, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntun” (QS. Al-Hadid: 4), dan firman-Nya: “Innallâh Ma’a al-Ladzînattaqau...” (QS. An-Nahl: 128), bahwa makna “Ma’a” dalam ayat-ayat semacam ini bukan dalam pengertian Dzat Allah menyertai setiap makhluk-Nya. Artinya bahwa ayat-ayat ini tidak boleh dipahami secara zahir (literal). Maka demikian pula dalam memahami makna al-‘Alyy, al-‘Âli, atau al-Muta’âli pada hak Allah, itu semua tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Banyak dalil yang menunjukan kepada keharusan memahami makna seperti yang kita ungkapkan di atas, di antaranya firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna...” (QS. Ali ‘Imran: 139), juga firman Allah tentang Nabi Musa “Lâ Takhaf Innaka Anta al-A’lâ” (QS. Thaha: 68), serta firman Allah: “Wa Kalimatullâh Hiya al-‘Ulyâ” (QS. At-Taubah: 40). Ayat-ayat ini semua sama sekali bukan untuk menunjukan tempat dan arah atas, tetapi yang dimaksud adalah ketinggian kedudukan dan martabat (Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, h. 110-111). Ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi dalam tafsirnya dalam penjelasan makna firman Allah: “Wa Annallâh Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Al-Hajj: 62) menuliskan sebagai berikut: “al-‘Alyy artinya bahwa Allah maha menguasai atas segala sesuatu, Dia Maha Suci dari segala keserupaan dan penentang, dan Maha Suci dari segala pernyataan orang-orang kafir yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak sesuai bagi keagungan-Nya. Al-Kabîr artinya bahwa Dia Allah yang maha agung dan maha besar dalam derajatnya, (bukan dalam makna bentuk). Menurut pendapat lain, makna al-Kabîr adalah bahwa Dia Allah yang memiliki segala kesempurnaan. Artinya bahwa wujud Allah itu mutlak; Dia ada tanpa permulaan (al-Qadîm al-Azaliy) dan tanpa penghabisan (al-Bâqî al-Abadiy)” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 12, h. 91). Al-Imâm Abu al-Qasim al-Anshari an-Naisaburi dalam kitab Syarh al-Irsyâd; sebuah kitab teologi Ahlussunnah karya Imam al-Haramain, menuliskan pasal khusus dalam penjelasan makna-makna tentang sifat-sifat Allah yang kita sebutkan. Simak tulisan beliau berikut ini: “Pasal; Tentang makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Kibriyâ’ dan al-Fawqiyyah. Seluruh orang Islam telah sepakat bahwa Allah maha agung. Dia lebih agung dari segala sesuatu yang agung. Dan makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Izzah, ar-Rif’ah, dan al-Fawqiyyah (pada hak Allah) semuanya memiliki satu pengertian, yaitu bahwa Dia Allah maha memiliki segala sifat kesempurnaan dan segala sifat kesucian. Artinya bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya, maha suci dari memiliki sifat-sifat benda, suci dari kebutuhan, suci dari kekurangan. Dan hanya Dia Allah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat Qudrah (Kuasa) yang mencakup atas segala sesuatu (dari Jâ’iz ‘Aqliy), sifat Irâdah (Kehendak) yang akan terlaksana bagi segala sesuatu yang ia kehendaki-Nya, sifat ‘Ilm (Mengetahui) yang mencakup atas segala sesuatu dari makhluk-Nya, maha memiliki sifat al-Jûd dan sifat ar-Rahmah, maha pemberi segala nikmat, maha memiliki sifat as-Sama’, al-Bashar, al-Qawl al-Qadîm (sifat kalam yang bukan berupa huruf, suara dan bahasa), dan maha kekal”. Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh para Masyâyikh al-Azhar Cairo Mesir, antar generasi mereka ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Hanya beberapa gelintir oknum saja yang terkena faham tasybîh, dan itupun terjadi belakangan ini ketika faham-faham Wahhabiyyah merebak. Kita dapat pastikan bahwa pemegang tumpuk keilmuan di al-Azhar, atau yang dikenal dengan gelar Syaikh al-Azhar, dari generasi ke generasi di dalam akidah mereka semua memiliki faham Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas rintisan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Para Masyâyikh al-Azhar sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Di antara bukti atas itu adalah majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar sendiri, pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la menuliskan sebagai berikut: “al-A’lâ adalah salah satu sifat Allah, yang dimaksud dengan al-‘Uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”. Kemudian pada halaman berikutnya dalam majalah al-Azhar pada edisi yang sama dituliskan sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para ulama Salaf telah sepakat bahwa al-‘Uluww pada hak Allah mustahil maknanya dalam pengertian tempat yang berada di arah atas. Hal ini berbeda dengan faham sebagian orang bodoh yang sesat yang sama sekali tidak memiliki pegangan dalam permasalahan ini. Padahal sesungguhnya seluruh ulama, maupun ulama Salaf maupun ulama Khalaf, sepakat bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya”. Waspadai ajaran wahhabi yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. Yang mengherankan pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah bertempat di langit. Di dua tempat heh? A'udzu Billah....!!!! Ha-ula al-Musyabbihah yadlhak alaihim as-sufaha' qablal 'Uqala...!!!! Ajarkan kepada anak-akan kita: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH. Inilah aqidah Rasulullah dan para sahabatnya; keyakinan mayoritas Ummat Islam; Ahlussunnah Wal Jama'ah.

AQIDAH ULAMA INDONESIA; ALLAH ADA TANPA TEMPAT (Ulama Ahlussunnah Anti Wahabi)

Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah: Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897). Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7): ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Sebagai berikut: "وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ...". “Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….” Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)…”. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut: “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna” Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut: "وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ...". Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut: وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai berikut: “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa). K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun wengku dining panggenan...”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3). K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat) baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.

Sekilas Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Di Indonesia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)

Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm. Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran. Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji. Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari. Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?! Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai --terutama akidah-- ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya. • • • Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini. Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i. Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman. Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara. • • • Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah. Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah. Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut. • • • Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah. Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara. • • • Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya. Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini. • • • Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”. Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah. Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya. Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya. Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali. • • • Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama. Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i. Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya. Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.